ARTIKEL

HARI RAYA YANG BERTEPATAN DENGAN HARI JUMAT, BAGAIMANA SHALAT JUMATNYA?!


Segala pujian hanya milik Allah. Shalawat serta salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, keluarga, dan sahabatnya. Amma ba’du
Jika hari raya bertepatan dengan hari Jum’at maka para ulama berbeda pendapat tentang kewajiban shalat Jumat, apakah gugur dengan mengerjakan shalat Id ataukah tidak?! Perbedaan ini setidaknya terbagi menjadi tiga pendapat, yaitu:

Pendapat Pertama : Shalat Jumat Tetap Wajib


Ibnul Mundzir rahimahullahu menyebutkan,


أجمع أهل العلم على وجوب صلاة الجمعة، ودلت الأخبار الثابتة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم على أن فرائض الصلوات خمس، وصلاة العيدين ليس من الخمس، وإذا دل الكتاب والسنة والاتفاق على وجوب صلاة الجمعة ودلت الأخبار عن رسول الله صلى الله عليه وسلم على أن صلاة العيد تطوع، لم يجز ترك فرض بتطوع


“Para ulama sepakat tentang wajibnya shalat Jumat. Hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallama menyebutkan shalat yang wajib ada 5 dan tidak termasuk shalat Id. Jika Al Qur’an dan As Sunnah sepakat tentang kewajiban shalat Jumat dan hadits-hadits menunjukkan bahwa shalat Id adalah sunnah, maka tentu saja tidak boleh meninggalkan yang wajib karena yang sudah mengerjakan yang sunnah” (Ibnul Mundzir, Al Ausath, jil. 4 hlm. 291).


Ini juga merupakan pendapat ulama Hanafi dan Maliki yang menyatakan bahwa masing-masing tidak menggugurkan kewajiban yang lain. Ini juga merupakan pendapat ulama dari kalangan Syafiiyah. Hanya saja mazhab Syafii memberikan kompensasi kepada mereka yang tinggal di pedalaman dan turut serta dalam shalat Id di pagi harinya untuk tidak mengerjakan shalat Jumat (akan tetapi tetap wajib shalat Dzuhur -pent).

Pendapat Kedua : Tidak Wajib Shalat Jumat bagi Mereka yang Tinggal di Pedalaman atau Pegunungan


Dalam Al Majmu’ disebutkan,


قد ذكرنا أن مذهبنا وجوب الجمعة علي اهل البلد وسقوطها عن عن اهل القرى وبه قال عثمان ابن عفان وعمر بن عبد العزيز وجمهور العلماء وقال عطاء بن أبي رباح إذا صلوا العيد لم تجب بعده في هذا اليوم صلاة الجمعة ولا الظهر ولا غيرهما إلا العصر لا على أهل القرى ولا أهل البلد


“Sebagaimana kami sebutkan bahwa shalat Jumat adalah wajib bagi warga desa dan tidak untuk pedalaman (yang seruan azan tidak sampai kepada mereka -pent) sebagaimana pendapat Utsman bin Affan, Umar bin Abdul Aziz, serta mayoritas ulama. Atha’ bin Abi Rabah mengatakan bahwa jika mereka (warga pedalaman) sudah mengerjakan shalat Id maka tidak wajib lagi mengerjakan shalat Jumat dan Dzuhur. Akan tetapi tetap mengerjakan shalat Ashar. Bahkan ini diperuntukkan bagi pedalaman maupun warga desa” (Al Majmu’ Syarh al Muhaddzab, jil. 4 hlm. 491).


Pendapat tentang gugurnya kewajiban Jumat baik bagi pedalaman maupun yang lainnya merupakan pendapat lama dari Imam Syafii dan termaktub dalam Al Umm. Pendapat ini dinilai lebih tepat.

Pendapat Ketiga : Kewajiban Shalat Jumat Gugur


Ibnu Qudamah rahimahullahu mengungkapkan dalam Al Mughni,


وإن اتفق عيد في يوم جمعة، سقط حضور الجمعة عمن صلى العيد، إلا الإمام، فإنها لا تسقط عنه إلا أن لا يجتمع له من يصلي به الجمعة. وقيل: في وجوبها على الإمام روايتان وممن قال بسقوطها الشعبي، والنخعي، والأوزاعي.


“Barangsiapa yang turut serta menghadiri shalat Id maka gugur kewajiban shalat Jumat untuk mereka. Kecuali bagi yang bertugas sebagai Imam, maka tidak gugur kewajibannya kecuali jika tidak ada yang turut serta shalat Jumat. Terkait tetapnya kewajiban atas imam ini terdapat dua riwayat pendapat. Beberapa yang mewajibkan di antaranya : Asy Sya’bi, An Nakha’iy, dan al Auza’iy rahimahumullahu” (Ibnu Qudamah, Al Mughni, jil. 2 hlm. 265).


Beliau rahimahullahu menambahkan,


وإن قدم الجمعة فصلاها في وقت العيد، فقد روي عن أحمد، قال: تجزئ الأولى منهما، فعلى هذا تجزئه عن العيد والظهر


“Seandainya shalat Jumat didahulukan waktunya di saat waktu Id, maka dalam salah satu riwayat Imam Ahmad, beliau menyebutkan : yang pertama dikerjakan sudah menggugurkan kewajiban yang lainnya. Dalam hal ini, shalat Jumat yang dikerjakan sudah menggugurkan kewajiban shalat Dzuhur dan Id” (Ibnu Qudamah, Al Mughni, jil. 2 hlm. 266).


Tentu saja ini dikhususkan untuk mereka yang berpendapat bahwa waktu shalat Jumat boleh dimajukan.

Sebagaimana perkataan al Khattaby rahimahullahu,


وهذا لا يجوز أن يحمل إلا على قول من يذهب إلى تقديم الجمعة قبل الزوال، فعلى هذا يكون ابن الزبير قد صلى الجمعة فسقط العيد

“Tentu saja hal ini tidak bisa diterapkan kecuali bagi yang berpendapat bolehnya memajukan waktu pengerjaan shalat Jumat sebelum matahari bergeser ke arah terbenam. Begitulah yang mendasari perbuatan Abdullah bin Az Zubair radhiyallahu ‘anhu yang mana beliau shalat Jumat dan tidak shalat Id maupun Dzuhur” (Idem).

PENDAPAT PARA ULAMA KONTEMPORER TERKAIT MASALAH INI

Lajnah Ad Daimah


وبناء على هذه الأحاديث المرفوعة إلى النبي صلى الله عليه وسلم ، وعلى هذه الآثار الموقوفة عن عدد من الصحابة رضي الله عنهم ، وعلى ما قرره جمهور أهل العلم في فقهها، فإن اللجنة تبين الأحكام الآتية:
1- من حضر صلاة العيد فيرخص له في عدم حضور صلاة الجمعة، ويصليها ظهراً في وقت الظهر، وإن أخذ بالعزيمة فصلى مع الناس الجمعة فهو أفضل.
2- من لم يحضر صلاة العيد فلا تشمله الرخصة، ولذا فلا يسقط عنه وجوب الجمعة، فيجب عليه السعي إلى المسجد لصلاة الجمعة، فإن لم يوجد عدد تنعقد به صلاة الجمعة صلاها ظهراً.
3- يجب على إمام مسجد الجمعة إقامة صلاة الجمعة ذلك اليوم ليشهدها من شاء شهودها ومن لم يشهد العيد ، إن حضر العدد التي تنعقد به صلاة الجمعة وإلا فتصلى ظهرا.
4- من حضر صلاة العيد وترخص بعدم حضور الجمعة فإنه يصليها ظهراً بعد دخول وقت الظهر.
5- لا يشرع في هذا الوقت الأذان إلا في المساجد التي تقام فيها صلاة الجمعة، فلا يشرع الأذان لصلاة الظهر ذلك اليوم.

“Berdasar dalil-dalil yang telah disebutkan sebelumnya yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama, juga kepada para sahabat radhiyallahu ‘anhum, dan di dalam literatur fikih para ulama’, maka lajnah memutuskan beberapa hukum terkait:


(1) Barangsiapa yang menghadiri shalat Id maka tidak diwajibkan shalat Jumat. Dengan tetap mengerjakan shalat Dzuhur. Akan tetapi jika ia memilih untuk mengerjakan shalat Jumat, maka ini lebih utama.


(2) Bagi yang tidak menghadiri shalat Id, maka kewajiban shalat Jumat tidak gugur. Ia tetap harus mengerjakan shalat Jumat. Jika ternyata di masjid tidak mencapai jumlah peserta shalat Jumat, maka ia mengerjakan shalat Dzuhur.


(3) Bagi imam tetap diwajibkan mendirikan shalat Jumat demi mensyiarkan kepada mereka yang hendak menghadiri dan mereka yang terhalang dari mengerjakan shalat Id. Jika jumlah tidak memenuhi, maka shalat Dzuhur.


(4) Jika menghadiri shalat Id dan memilih keringanan tidak ikut shalat Jumat, maka ia tetap mengerjakan shalat Dzuhur.


(5) Tidak disunnahkan adzan kecuali bagi masjid yang ditegakkan shalat Jumat.


(6) Adapun pendapat yang menyatakan bahwa shalat Jumat dan shalat Dzuhur gugur (secara bersamaan) maka kurang tepat. Oleh karenanya para ulama menilai ketidakabsahan pendapat ini karena telah menyelisihi sunnah dan menggugurkan kewajiban yang Allah tetapkan tanpa menyertakan bukti. Boleh jadi yang berpendapat ini belum mendengar nash-nash yang berkaitan dengan rukhsah shalat Jumat bagi yang mengerjakan shalat Id dengan tetap wajib mengerjakan shalat Dzuhur.

Kesimpulan : maka silahkan bagi kaum muslimin memilih pendapat ulama yang diyakini sebagai pendapat yang lebih menenangkan tanpa harus merendahkan pendapat yang lainnya.

Wallahu a’lam

ARTIKEL

Ilalang Tak Menghasilkan Beras

Dari Abu Dzar Al Ghifary radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallama meriwayatkan dari Allah azza wajalla :

*يا عبادي ، إنما هي أعمالكم أُحصيها لكم . ثم أوفِّيكم إياها . فمن وجد خيرًا فليحمدِ اللهَ . ومن وجد غيرَ ذلك فلا يلومَنَّ إلا نفسَه .*

“Wahai hamba-Ku, inilah hasil dari perbuatan kalian yang Aku hitungkan untuk kalian, Aku tunaikan pula balasan untuk setiap amalan. Barangsiapa mendapati kebaikan, pujilah Allah. Dan jika mendapati selainnya, janganlah ia mencela kecuali pada dirinya sendiri (karena berbuat demikian -pent)”

(Shahih Muslim 2577)

🍃🍂🍃

Al Hafidz Ibnu Rajab rahimahullahu berkata :

*غـداً تــوفى النفـوس ما ڪـسبت ويحصد الزارعـون مـا زرعـوا ، إن أحسـنوا أحسـنوا لأنفسـهم ، وإن أسـاؤوا فبئـس ما صنعـوا*

“Kelak, masing-masing jiwa akan mendapat balasan atas apa yang mereka usahakan di dunia. Saat di mana orang memanen hasil yang mereka tanam. Jika menanam kebaikan maka kebaikan pula yang mereka dapat. Jika memanen balasan keburukan, sungguh sangat tercela apa yang mereka perbuat semasa di dunia.”

(Lathāiful Ma’ārif 232)

🍃🍂🍃🍂🍃🍂🍃🍂

TANYA HADITS

TANYA HADITS

Kirim Pertanyaan ke Tanya Hadits

Bagi para pembaca yang ingin menanyakan masalah validitas sebuah hadits kepada Tim Tanya Hadits, silakan isi form pertanyaan di bawah ini.

Tim Tanya Hadits akan berusaha menjawab pertanyaan pembaca melalui artikel atau email (khusus). Jawaban merupakan hasil pencarian Tim Tanya Hadits dari kitab-kitab para ulama’ yang berkompeten dalam hal menentukan validitas sebuah hadits. In Syaa Allaah

FORM PERTANYAAN

HADITS

Hutang Menjadikan Sedih di Malam Hari dan Hina di Siang Hari

Afwan, mau tanya. Untuk kalimat ini dari rasulullah kah? Dan Perawinya siapa. Syukron….  “Hammun billaili wa madzallatun binnahaari” (utang itu membuat sedih di malam hari dan hina di siang hari).

Segala pujian hanya milik Allah. Shalawat serta salam semoga terlimpah kepada Nabi Muhammad, keluarga, sahabat, dan para pengikut beliau. Amma ba’du 

Syaikh Muhammad bin Nashiruddin Al Albany  rahimahullahu mengatakan :

3619 – (الدين هم بالليل، مذلة بالنهار) .
ضعيف جداً

رواه الديلمي (2/ 152) عن حسن بن يحيى – قاضي مرو -، عن هشام، عن أبيه، عن عائشة مرفوعاً.قلت: وهذا إسناد ضعيف جداً؛ حسن بن يحيى هذا هو الخشني الخراساني؛ مختلف فيه، وقد تركه الدارقطني وابن حبان وغيرهما. وفي “التقريب”:“صدوق كثير الغلط”.

[Hadits no. 3619]

(الدين هم بالليل، مذلة بالنهار)

Hutang membuat sedih di malam hari dan menghinakan di siang hari



Hadits ini sangat dhaif jiddan lemah sekali. Diriwayatkan oleh Ad Dailamy (152/2) dari Hasan bin Yahya, dari  Hisyam, dari ayah beliau, dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha hingga Rasulullah.

Aku (Syaikh Al Albany rahimahullahu) mengatakan :

“Sanad hadits ini sangat lemah, disebabkan seorang perawi yaitu Hasan bin  Yahya Al Khusyani Al Khurasany yang para ulama berselisih tentang status beliau. Imam Ad Daruquthny dan Ibnu Hibban juga selain beliau berdua tidak memakai hadits dari beliau. Ibnu Hajar dalam At Taqrīb menilai beliau sebagai :

صدوق كثير الغلط

“Shaduq dan banyak melakukan kesalahan dalam meriwayatkan hadits”

Sumber : Silsilah Al Ahādits Ad Dha’īfah wal Maudhū’ah 142/8